Minggu, 18 Mei 2014

tafsir jami' al bayan


  1. PENDAHULUAN
Tafsir sebagai upaya memahami al –Qur’an telah dimulai sejak masa Rosulullah saw,dan terus berlanjut hingga generasi sesudahnya,yakni masa sahabat,tabi’in ,tabi’ut tabi’in sampai para ulama saat ini.
Sementara itu masa pembukuan kitab-kitab tafsir dimulai pada akhir dinasti bani ummayyah dan awal dinasti abbasiyyah.
Diantara sekian banyak buku tafsir yang ada, tafsir ath-Thabari dinilai sebagai tafsir paling istimewa, dimana ia dijuluki sebagai tafsir paling lengkap. Ia merupakan tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. Bahkan buku tafsir al-Thabari merupakan rujukan utama para mufassir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil ma’tsur.
Demikian akan kami paparkan mengenai biografi Imam al-thabari yang dilanjutkan dengan penjelasan mengenai kitab tafsirnya, mulai dari sumber rujukan penafsirannya, karakteristik hingga sistematika penulisan tafsir al-Thabari.

  1. Biografi Ibn Jarir al –Thabari
Ibn Jarir al – Thabari terkenal sebagai imam,mujtahid,sejarawan,ahli fiqih,dan mufassir. Nama aslinya adalah Abu  Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al –Thabari, Beliau dilahirkan pada tahun 224 H /839 M di Amol, nama daerah di Thabaristan. Al Thabari tumbuh dewasa dalam keluarga yang mementingkan pendidikan dan di lingkungan yang religius. semasa hidupnya dihabiskan untuk mencari ilmu pengetahuan dan ilmu – ilmu agama.[1] Kecerdasan dan kepiawaian beliau dalam hal mempelajari ilmu-ilmu telah ditunjukkan sejak masih dalam usia yang dini. Ath-Thabari berkata,
حفظت القرآن ولي سبع سنين، وصليت بالنّاس وأنا ابن ثماني سنين، وكتبت الحديث وأنا ابن تسع سنين[2]
(Aku telah hafal al-Qur’an ketika umurku tujuh tahun, menjadi imam shalat ketika umurku delapan tahun, dan menulis hadits di usia sembilan tahun.)
Pada awalnya Al-Thabari menuntut ilmu di tanah kelahirannya sendiri, yaitu Amol. Kemudian beliau pindah ke negeri tetangga (Ray, sebuah kota di Persia) dan mencari para ‘Ulama guna menimba ilmu dari mereka. Ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya, mulai dari mendengar penuturan guru secara langsung, menghafalnya, hingga membukukannya.
Usaha keras Al-Thabari dalam menuntut ilmu pernah diceritakannya sebagaimana berikut, Thabari berkata, ”Kami pernah menemui Ahmad bin Hamâd ad- Dûlaby, ia tinggal disebuah daerah di Ray yang berjarak cukup jauh. Kami menyeberang daerah perairan beberapa jauh, layaknya orang yang tidak waras hingga kami sampai ditempat Ibnu Hamâd dan mendapati majelisnya.” Dari kota Ray, beliau merantau ke Irak. Awalnya ia hendak menuju Baghdad untuk berguru langsung kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, namun hal itu tidak terwujud karena Imam Ahmad terlebih dahulu meninggal dunia sebelum al-Thabari sampai ke kota Baghdad.[3]
Kemudian beliau beralih menuju Bashrah, disini beliau berguru pada seorang penghafal hadis jenius, Muhammad  bin al Ma’alli dan Muhammad bin Bashar yang terkenal dengan Setelah berguru di Bashrah, ath-Thabari berguru di Kufah kepada Hanna bin al – Sary dan  Abu Kuraib Muhammad bin Ala’ al-Hamdani. Selanjutnya ath-Thabari mengembara ke Baghdad dan tinggal beberapa lama disana.
Perjalanan ath Thabari tak hanya berhenti disitu pertualangannya dimulai kembali pada tahun245 H.Beliau pergi ke Syam (Syiria) untuk belajar ilmu Qiro’at kepada al Abbas bin al Wlid al Bairuni,kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Mesir untuk belajar Fiqih kepada sahabat imam Syafi’i yaitu al Muzani (w 268),dan belajar Maliki kepada Muhammad bin ‘Abd Allah bin al-Hakam dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.[4]
Dari Mesir, Thabari kembali ke Baghdad, selanjutnya dari Baghdad, ia pergi ke Thabaristan, namun tidak lama menetap, ia pun kembali ke Baghdad dan bermukim disana hingga wafat pada hari ahad akhir Syawal dua hari sebelum bulan Zulqa’dah  tahun 310 H.[5]
Ath-Thabari memilih hidup membujang hingga akhir hayat, Karena itu beliau memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Hidupnya dihabiskan untuk belajar, mengajar dan menulis, sehingga tidak mengherankan jika beliau sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, hadits, bahasa, sastra, dan lain sebagainya[6].
  1. Karya – Karya Al-Thabari
Karya Beliau yang monumeental adalah kitab sejarah Tarikh al – Umam wa al-Muluk atau dikenal dengan Tarikh al thabari dan kitab tafsir Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil Ay Al-Qur’an atau dikenal dengan tafsir al-Thabari,berikut ini adalah karya – karya al –Thabari[7] :
1.      ‘Adab al –Qadhah
2.      ‘Adab al-manasik
3.      ‘Adab al- Nufus
4.      Ahkam Syara’i al-islsam atau Lathaif al-Bayan ‘an Ushul al-Ahkam
5.      Ikhtilaf al –Ulama’
6.      Al basith atau Basith al Qaul fi aahkam Syarai’ al islam
7.      Tarikh al-umam wa al muluk
8.      Tarikh Rijal min as Shahabah wa al Tabi’in
9.      Kitab al Tashbir
10.  Tahdzib al-atsar wa Tafshil al- Tsabit ‘an Rosulullah SAW
11.  Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil Ay Al-Qur’an
12.  Al- Jami’ al- Qiroat

  1. Aliran Ilmu Kalam dan Madzhab Fiqih
Paham teologi Abu Ja’far al Thabari adalah Ahl al – sunnah wa al-Jama’ah . sedangkan mazhab fiqihnya adalah madzhab Syafii,kemudian beliau senantiasa berijtihad sendiri dalam masalah fiqih hingga beliau mendirikan mazhab yang dinamakan al –Jaririyyah,dan memiliki sejumlah jama’ah yang mengikuti madzhabnya.[8]
            Al-Dzahabi menyebutkan bahwa al-Thabari memiliki madzhab sendiri yang bbernama al-Jaririyyah,namun madzhab ini tidak bertahan lama seperti mazhab-mazhab islam lainnya.Mazhab ini lebih dekat dengan mazhab Syafi’i dalam hal teori fiqihnya.
  1. Sumber Penafsiran
Al-Thabari dalam menafsirkan Al-Qur’an bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri,dari riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,para sahabat,dan para tabi’in.(tafsir bi al-Ma’sur).
Penafsiran al-Thabari sedikit berbeda dan lebih unggul dari pada mufassir generasi sebelumnya.Beliau tidak hanya mengutip riwayat Nabi Saw dan pendapat para mufassir sebelumnya,melainkan juga mengkritisi mana riwayat yang shahih dan tidak shahih,serta mengutip pendapat yang paling kuat (rajih) bila terjadi perbedaan dikalangan sahabat dan tabi’in.[9]
al-Thabari telah menempuh langkah metodologis yang sangat penting, dimana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat dan atsar, yang kerap disebut dengan tafsir bil ma’tsur (tafsir dengan riwayat), melainkan dengan karya ath-Thabari ini telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari jalur kebenaran. Model tafsir yang dihasilkan Imam ath-Thabari ini, dinilai sebagian ulama sebagai karya yang baru.
Dapat dikatakan bahwa tafsir ath-Thabari adalah penggabungan antara dua sisi tersebut secara seimbang dan sempurna.Didalamnya terdapat sejumlah riwayat hadis yang melebihi riwayat hadis yang ada dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya.Kemudian di dalamnya terdapat teori ilmiyah yang dibangun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat. Itu semua  dilakukan dengan mengkaji ‘illat, sebab-sebab dan qarinah (sisi indikasi dalil).[10]
  1. Metode dan Corak Tafsir
Metode tafsir yang digunakan oleh al-Thabri adalah metode tahlili,yaitu suatu metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya yang urutannya disesuaikan dengan tertib surat yang ada dalam mushaf utsmani. Metode ini menjelaskan pula kosakata (susunan kalimat),munasabah (korelasi) antar ayat maupun suroh,menjelaskan asbabunnuzul,dan mengutip dalil dalil dari Nabi saw,sahabat dan tabi’in.metode tahlili adalah metode tafsir yang menganalisis ayat al-Qur’an dari berbagai bidang keilmuan.[11]
Contoh pengutipan al Tabari:
1.       Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
Contoh:
Firman Allah. Alquran ditafsirkan dengan Alquran.Ini merupakan rujukan tertinggi dalam tafsir Alquran, karena Dialah yang paling memahami firman-Nya. Berikut ini adalah beberapa contoh tafsir Alquran dengan Alquran:
 Allah berfirman,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada ketakutan baginya dan mereka tidak bersedih.” (QS.Yunus:62)
Tentang siapakah wali Allah, tidak ditunjukkan dalam ayat ini. Di ayat berikutnya, Allah memberikan tafsirnya,
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ      
Yaitu, orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS.Yunus:63)
2.      Penafsiran Al-qur’an dengan assunnah atau hadis Nabi Muhammad saw :
Dlam mengutip hadis nabi al-Thabari meneliti terlebih dahulu apakah sanad yang akan dikutipnya shahih atau tidak,disamping itu al Thabari juga melakukan tarjih terlebih dahulu ,ini terlihat ketika beliau menafsirkan surah Al-Baqarah ayat  7:
$zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ……..( ÇÐÈ    
Ayat Al-Qur’an  Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka ditafsirkan dengan hadis nabi sebagai berikut:

Muhammad bin Bisyr menceritakan kepada kami ,ia berkata; shafwan bin isa menceritakan kepada kami, ia berkata; ibnu ijlan, dari al qa’qa’, dari abi shalih, dari abi hurairah ia berkata; rasulullah saw bersabda; “sesunggunhnya seorang mukmin jika melakukan dosa dosa maka jadilah noda hitam dalam hatinya, jika bertaubat dan meninggalkan perbuatannya serta beristigfar (memohon ampunan) maka hatinya kembali berkilau, dan jika menambah dosa maka bertambahlah noda hitam tersebut dalam hatinya. Dan itulah yang dimaksud dengan al-ran seperti yang telah disebutkan Allah dalam firman-Nya; “sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin/83 ;14)
3.      Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Al-Thabari juga mengutip pendapat para sahabat dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an yang dibahas,salah satunya mengutip pendapat Ibn Annas ra dalam menafsirkan QS.Albaqarah ayat 14 :[12]

Muhammad bin al-ala’ menceritakan kepada kami, ia berkata: ustman bin sa’id, ia berkata: menceritakan kepada kami bisyr bin umarah dari abi rauq, dari ad-dahhak, dari ibnu abbas ra. Tentang firman Allah: “ dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan; “ kami telah beriman.....”. ia berkata; sejumlah laki-laki dari kaum yahudi jika bertemu dengan para sahabat rasulullah saw., mereka berkata; “ sesungguhnya kami mengikuti agama kalian.” Dan jika kembali kepada rekan-rekan mereka, mereka berkata; “sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”
4.      Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para tabi’in
Al-Thabari juga mengutip pendapat tabi’in dalam menafsirkan ayat al-Qur’an,salah satunya adalah sebagai berikut :

Muhammad bin basyar menceritakan kepada kami, ia berkata; abd al- Rahman menceritakan kepada kami, ia berkata; sufyan menceritakan kepada ibn abi najih, dari mujahid, ia berkata; “tha’ifah adalah satu orang laki-laki.”
Kata tha’ifah menurut perkataan orang arab bias dikatakan untuksatu orang atau lebih. Mujahid berpendapat hukuman cambuk seratus kali bagi pezina perempuan dan laki-laki  (yang belum nikah) dapat dilaksanakan meskipun hanya ada satu orang saksi. Namun, al-thabari lebih mengutamakan saksi tidak kurang dari empat orang.
Tafsir at-thabari tidak memiliki cirri husus dalam penafsiran, karena at-thabri menafsirkan ayat-ayat al-qur’an berdasarkan riwayat. Meskipun sering kali beliau melakukan tarjih terhadap riwayat dan pendapat yang ia kutip.[13]
  1. Referensi tafsir
Hadis Nabi saw,pendapat para sahabat dan tabi’in,syair arab,dan sirah nabawiyyah merupakan sumber yangb di gunakan atthabari.[14]
Selanjutnya diantara referensi –referensi yang digunakan al –Thabari adalah sebagai berikut :
  Mushaf ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abas (Tafsir Ibn ‘Abas)
  Tafsir bil ma’tsur para Tabi’in, seperti: Tafsir Mujahid, Tafsir Qatadah, Tafsir ‘Ikrimah, Tafsir ‘Atha’, Tafsir Sa’id bin Jubair, Tafsir Abi al-‘Aliyah, dan Tafsir al-Hasan al-Bashri.
  Tafsir para Tabi’it Tabi’in, seperti: Tafsir ‘Abd ar-Rahman bin Zaid bin Aslam, Tafsir ‘Abd ar-Razaq ash-Shan’any, Tafsir Muqatil bin Hayan, Tafsir ‘Abd al-Malik bin Juraij, Tafsir Sufyan ats-Tsaury, Tafsir Waki’ bin al-Jarah, Tafsir Yahya bin al-Yaman, dan yang lainnya.
  Tafsir-tafsir mengenai Tata Bahasa, seperti: Majaz al-Qur’an karya ‘Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mutsanna, Ma’ani al-Qur’an karya Abi Zakaria, Ma’ani al-Qur’an karya Abi al-Hasan Sa’id bin Mas’adah (yang terkenal dengan al-Akhfasy al-Ausath), Ma’ani al-Qur’an karya ‘Ali bin Hamzah al-Kisa’i. Serta banyak menukil pada Kitab al-Fara’, yang kitabnya telah diterbitkan dalam tiga juz.
  Mengumpulkan tafsir-tafsir agung terdahulu, yang telah sirna ditelan masa sehingga tidak sampai kepada kita. Oleh karena itu, Tafsir ath-Thabari mengutip dalam pendapat-pendapat para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in.[15]

  1. KARAKTERISTIK TAFSIR
Secara umum,tafsir al Thabari memiliki beberapa karakteristik penafsiran yang dapat dilihat dalam karya besar ini .diantaranya adalah kitab tafsir ini merupakan tafsir bi al ma’tsur yang sempurna,yakni beliau melakukan tarjih terhadap riwayat maupun pendapat yang dikutip ,melakaukan pengambilan( istinbath) hokum,membahas masalah qiroat,dan terkadang beliau mengutip syair-syair arab untuk memperjelas makna yang tertuang dalam ayat Al-Qur’an.
  1. Sistematika penyajian dan penafsiran
Sistematika penyajian kitab tafsir al –Thabari adalah sebagai berikut :
1.      Kitab tafsir at thabari terdiri dari 24 jilid
2.      Sebelum masuk penafsiran ,pada jilid 1 ,at Thabari mengawali dengan penjelasan seputar biografi pengarang ,kata pengantar, diantaranya meliputi penjelasan mengenai metode yang digunakan dan landasan diperbolehkannya menafsirkan Al-Quran dll.
3.      Setelah itu ,at thabari masuk ke ranah penafsiran Beliau mengawali dengan penyebutan nama suroh,kemudian basmalah.
4.      Kemudian beliau membahas ayat per ayat Al-Qur’an dan menyebutkan riwayat dari nabi,sahabat,dan tabi’in setelah penyebutan Al-Qur’an yang di bahas.[16]
Sedangkan sistematika penafsiran AL Thabari adalah sebagai berikut :
1.      Setelah pencantuman nma suroah dan ayat al-Qur’an yang dibahas,al Thabari menampilkan riwayat-riwayat dari Nabi saw,sahabat,tabiin yang berkaitan dengan ayat Al-Qur’an yang dibahas.
2.      Beliau juga menjelaskan tentang sabab al-nuzul dari ayat al-Qur’an yang dibahas.
3.      Setelah itu,beliau juga menjelaskan perbedaan Qiroat bila ayat Al-Qur’an yang dibahas mengandung perbedaan qiro’at.
4.      Kemudian Al Thabari menjelaskan ayat Al- Qur’an .apabila terdapat perbedaan riwayat tentang makna kata dari suatu ayt al-Qur’an ,beliau menampilkan terlebih dahulu perbedaan itu,kemudian beliau melakukan tarjih.

  1. PENUTUP
Dengan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Imam AL-Thabari adalah merupakan mufassir yang sangat pandai dan cerdas, bahkan seluruh waktu beliau digunakan untuk mengabdi pada ilmu , sebagaimana tergambar dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Quran yang dimana kitab tafsir ini banyak menjadi rujukan utama bagi para ulama yang ingin mendalami ilmu tafsir.
Tafsir al –Thabari mempunyai karakteristik yang menonjol dari tafsir-tafsir lainnya dengan ketajaman beliau dalam meneliti keshahihan hadis,qaul sahabat dan tabi’in sebagai referensi penafsirannya.


DAFTAR PUSTAKA
ü  Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 2005

ü  Faizah Ali Syibromasili,Jauhar Azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011)
ü  Muhammad bin Luthfi ash-Shibbagh, Buhuts fi Ushul at-Tafsir, Beirut: Maktabah al-Islamiy, 1988
ü  Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
ü  Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002















[1] Faizah ali syibromasili,jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.1
[2] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hal 5

[3] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an, h. 6

[4] Faizah Ali syibromasili,Jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.2
[5] Muhammad bin Luthfi ash-Shibbagh, Buhuts fi Ushul at-Tafsir, (Beirut: Maktabah al-Islamiy, 1988), h. 18
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 64
[7] Faizah ali syibromasili,jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.3
[8] Faizah ali syibromasili,jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.3

[9] Faizah Ali syibromasili,Jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.8-9
[10] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an, h. 13

[11] Faizah Ali syibromasili,Jauhar azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.7
[12] Al-Thabari,tafsir Al-Thabari ,juz 1,hal 306-307
[13] Faizah Ali Syibromasili,Jauhar Azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.18
[14] Faizah Ali Syibromasili,Jauhar Azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.11
[15] Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 358
[16] Faizah Ali Syibromasili,Jauhar Azizy,membahas kitab Tafsir klasik dan Modern,(Ciputat :LP UIN Jakarta,2011),hal.16-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar